Seorang
pria berumur 61 tahun bernama Asep Sudrajat menghidupi keluarganya
dengan membuka sebuah toko berukuran 3 x 4 meter di sebuah jalan di kota
Bandung. Tiada yang mendampingi hidupnya di rumah selain Asih,
istrinya. Sudah puluhan tahun berumah tangga, Allah Swt. Sang Maha
Pencipta belum berkenan memberikan mereka keturunan.
Namun,
baik Asep dan Asih adalah model makhluk Allah yang menerima segala
ketetapan. Mereka selalu menghiasi hidup dengan pengharapan terhadap
Tuhan. Bersyukur atas segala nikmat yang mereka terima, dan bersabar
atas segala ujian yang diberikan.
Hampir dua puluh tahun mereka
menabung demi mewujudkan cita-cita. Sebuah cita-cita mulia yang mereka
tanamkan dalam hati, untuk berangkat haji ke Baitullah, Mekah
Al-Mukarramah.
Dengan hasil dagang di toko yang seadanya,
sedikit demi sedikit mereka sisihkan untuk menggapai cita-cita itu.
Hanya ibadah haji saja dalam benak mereka yang belum pernah mereka
lakukan. Keinginan itu terus membuncah, menggelegak dalam dada seorang
hamba yang rindu akan keridhaan Tuhannya.
Hasil tabungan yang
mereka kumpulkan tidak mereka tabung di bank. Sengaja uang sejumlah itu
mereka simpan agar dapat memotivasi semangat mereka untuk mencari
tambahan uang sesegera mungkin. Sungguh dua puluh tahun dalam menabung,
merupakan masa yang cukup panjang untuk bersabar demi mewujudkan
ketaatan kepada Tuhan. Tidak banyak, manusia modern di zaman sekarang
yang mampu memiliki niat sedemikian.
Malam itu, Asep dan Asih
sekali lagi menghitung jumlah tabungan mereka. Uang yang mereka simpan
untuk berhaji itu kini berjumlah Rp. 50.830.000. Sementara biaya haji
pada saat itu berkisar kurang lebih Rp. 27 juta per orang, belum lagi
biaya bimbingan haji yang harus mereka ikuti, ditambah dengan uang jajan
tambahan untuk membeli oleh-oleh. Mereka menghitung, kurang lebih
mereka memerlukan dana berkisar Rp. 10 juta. Setiap malam berlalu, Asep
dan Asih selalu menghitung peruntungan jualan mereka, dan sebagiannya
mereka sisihkan untuk mewujudkan cita-cita berhaji.
Suatu pagi,
Asep mendengar kabar bahwa kawan karibnya dalam berjamaah shalat di
Masjid Ash-Shabirin jatuh sakit secara mendadak dan kini dirawat di
salah satu rumah sakit di Bandung. Setelah divisum oleh dokter rupanya
penyakit yang diderita tetangga sekaligus kawan karibnya itu adalah
penyakit tumor tulang. Sebuah penyakit yang jarang terjadi pada
masyarakat Indonesia.
Bersegeralah, Asep menjenguk kawan
karibnya itu. Sesampainya di sana, sahabat tersebut masih berada di
ruang ICU dan untungnya masih sadarkan diri sehingga dapat melakukan
percakapan dengan Asep. Dan penuturannya Asep mengetahui bahwa tumor
tulang tersebut telah membuat tetangganya tidak mampu untuk berdiri
lagi, dan tumor tersebut harus diangkat segera. Sebab bila tidak, maka
tumor tersebut dapat menjalar ke bagian tubuh lain. Asep bergidik
mendengarnya. Namun ia masih terus membesarkan hati sahabatnya itu untuk
senantiasa tawakal dan berdoa kepada Allah Swt. Yang Maha Menyembuhkan
setiap penyakit hamba-Nya.
Hampir setiap hari Asep menjenguk
sahabatnya itu. Pada hari kedelapan, sahabatnya itu telah dipindah ke
ruang rawat inap kelas 3, bersama tujuh pasien lainnya dalam satu kamar.
Kamar tersebut pengap dengan bau obat, dan tidak layak disebut sebagai
kamar rumah sakit. Pemandangan yang berantakan. Jemuran baju pasien dan
pendamping yang bertebaran di sepanjang jendela. Sprei kasur yang tidak
rapi. Tikar dan koran bertebaran di pojok-pojok kamar. Itu semua membuat
pemandangan kamar menjadi tidak asri dan pengap.
Namun apa
mau dikata, tetangganya adalah seorang yang mungkin memilik nasib sama
dengan jutaan orang di Indonesia. Sudah masuk rumah sakit saja
Alhamdulillah, nggak tahu bayarnya pakai apa?
Hari itu adalah
hari kesebelas sahabatnya dirawat di rumah sakit. Kebetulan Asep sedang
berada di sana, seorang perawat membawakan sebuah surat dari rumah sakit
bahwa untuk membuang tumor yang berada di sendi-sendi tulang pasien
haruslah dijalankan sebuah operasi. Operasi itu akan menelan biaya
hampir Rp. 50 juta. Bila keluarga pasien mengharapkan kesembuhan, maka
operasi tersebut harus dilakukan. Namun kalau mau berpasrah kepada
takdir Allah, maka tinggal berdoa saja agar terjadi keajaiban.
Siapa orangnya yang tidak mau sembuh dan penyakit? Semua orang pun
berharap sedemikian. Namun mau bilang apa? Keluarga sahabat Asep
tersebut sudah menguras habis tabungan yang mereka miliki, namun itu
semua untuk bayar biaya rumah sakit selama ini saja tidak cukup. Apalagi
untuk membiayai proses operasi? Sungguh, yang mampu mereka lakukan
adalah memohon pertolongan kepada Allah Swt.
Hari kedua belas,
ketiga belas, keempat belas.... kondisi pasien semakin parah. Badannya
terlihat kurus tak bertenaga. Kelemahan itu terlihat jelas dalam sorot
cahaya mata yang kian meredup. Sang pasien tidak mampu lagi menanggapi
lawan bicara. Tumor itu semakin mengganas dan menjalar ke seluruh tubuh.
Pemandangan itu semakin menyentuh relung hati Asep yang terdalam. Maka
di pinggir ranjang sahabatnya, Asep pun mengambil sebuah keputusan
besar.
Setelah berpamitan dengan keluarga sahabatnya, ia
bergegas pulang menuju rumah. Di sana terlihat olehnya Asih sedang
melayani pembeli yang datang ke toko sederhana milik mereka. Saat
pembeli sudah sepi, Asep lalu menyampaikan keputusannya itu kepada Asih.
“Bu, Kang Endi tetangga kita yang sedang di rawat di rumah sakit itu
kondisinya semakin memburuk. Bapak tidak sanggup melihat penderitaannya.
Sepertinya kita harus bantu dia dan keluarganya. Tiga hari lalu,
kebetulan bapak sedang di sana, seorang suster memberitahukan bahwa Kang
Endi harus dioperasi segera. Keluarganya belum berani menyatakan iya,
sebab biaya operasi itu hampir Rp. 50 juta.” Asep membuka pembicaraannya
dengan kalimat yang panjang.
Asih pun mulai merasa iba dengan penderitaan Kang Endi dan keluarganya, “Kasihan mereka ya, Pak! Kita bisa bantu apa?”
Asep pun langsung menyambung dengan cepat, “Kalau ibu berkenan,
bagaimana bila dana tabungan haji kita diberikan saja kepada mereka
semua untuk biaya operasi?” Kalimat itu diakhiri dengan sebuah senyum
merekah di bibir Asep.
“Diberikan?!! Waduh Pak, hampir
duapuluh tahun kita nabung dengan susah payah agar cita-cita berhaji
dapat diwujudkan. Masa bisa pupus seketika dengan membantu orang lain
yang bukan saudara kita?” Asih mengajukan penolakan atas usulan
suaminya.
“Bu, banyak orang yang berhaji belum tentu mabrur di
sisi Allah. Mungkin ini adalah jalan buat kita untuk meraih keridhaan
Allah Swt. Biarkan kita hanya berhaji di pekarangan rumah kita sendiri,
tidak perlu ke Baitullah. Bapak yakin bila kita menolong saudara kita,
Insya Allah, kita akan ditolong juga oleh Allah Yang Maha Kuasa.”
Kalimat itu meluncur dari mulut Asep dan menohok relung hati Asih
sehingga begitu membekas di dasar hatinya. Tak kuasa, Asih pun
mengangguk dan setuju atas usul suaminya.
Keesokan pagi, Asep dan
Asih pun datang berdua ke rumah sakit untuk menjenguk. Toko mereka
ditutup hari itu. Mereka berdua datang ke rumah sakit dengan membawa
sebuah amplop tebal berisikan uang sejumlah Rp. 50 juta yang tadinya
mereka siapkan untuk berhaji.
Keduanya tiba di rumah sakit dan
menjumpai Kang Endi dan keluarganya di sana. Usai membacakan doa untuk
pasien, keduanya datang kepada istri Kang Endi. Mereka serahkan sejumlah
uang tersebut, dan suasana menjadi haru seketika. Bagi keluarga Kang
Endi ini adalah momen di mana doa diijabah oleh Tuhan. Sementara bagi
Asep dan Asih, ini merupakan saat di mana keikhlasan menolong saudara
harus ditunjukkan. Lalu pulanglah Asep dan Asih ke rumah setelah
berpamitan kepada keluarga.
Uang itu kemudian segera dibawa
oleh salah seorang anggota keluarga ke bagian administrasi rumah sakit.
Formulir kesediaan menjalani operasi telah diisi. Besok pagi jam 08.00
operasi pengangkatan tumor di sendi-sendi tulang Kang Endi akan
dilakukan. Alhamdulillah!
Esoknya, Kang Endi sudah dibawa ke
ruang operasi. Sebelum dioperasi, dokter spesialis tulang yang selama
ini menangani Kang Endi sempat berbincang dengan keluarga. “Doakan ya
agar operasi berjalan lancar dan Pak Endi semoga lekas sembuh! Kalau
boleh tahu, dari mana dana operasi ini didapat?” Dokter mencetuskan
pertanyaan tersebut, karena ia tahu sudah berhari-hari pasien tidak jadi
dioperasi sebab keluarga tidak mampu menyediakan dananya.
Istri Kang Endi menjawab, “Ada seorang tetangga kami bernama Pak Asep yang membantu, Alhamdulillah, dananya bisa didapat, Dok!”
“Memangnya, beliau usaha apa? Kok mau membantu dana hingga sebesar
itu?” Dibenak dokter, pastilah Pak Asep adalah seorang pengusaha sukses.
“Dia hanya punya usaha toko kecil di dekat rumah kami. Saya
saja sempat bingung saat dia dan istrinya memberikan bantuan sebesar
itu!” Istri Kang Endi menambahkan.
Di dalam hati, dokter kagum
dengan pengorbanan Pak Asep dan istrinya. Hatinya mulai tergerak dan
berkata, “Seorang Pak Asep yang hanya punya toko kecil saja mampu
membantu saudaranya. Kamu yang seorang dokter spesialis dan kaya raya,
tidak tergerak untuk membantu sesama.”
Suara hati itu terus membekas dalam dada pak dokter. Pembicaraan itu usai, dan dokter pun masuk ke ruang operasi.
Alhamdulillah, operasi berjalan sukses dan lancar. Operasi memakan
waktu hingga 4 jam lebih. Semua tumor yang berada pada tulang Kang Endi
telah diangkat. Seluruh keluarga termasuk dokter dan perawat yang
menangani merasa gembira.
Kang Endi tinggal menjalani masa
penyembuhan pasca operasi. Pak Asep masih sering menjenguknya. Suatu
hari kebetulan pak dokter sedang memeriksa kondisi Kang Endi dan Pak
Asep pun sedang berada di sana.
Keduanya pun berkenalan. Pak
dokter memuji keluasan hati Pak Asep. Pak Asep hanya mampu mengembalikan
pujian itu kepada Pemiliknya, yaitu Allah Swt. Akhirnya, pak dokter
meminta alamat rumah Pak Asep.
Beberapa minggu setelah Kang
Endi pulang dari rumah sakit. Malam itu, Asep dan Asih tengah berada di
rumahnya. Toko belum lagi ditutup, tiba-tiba ada sebuah mobil sedan
hitam diparkir di luar pagar rumah. Nampak ada sepasang pria dan wanita
turun dan mobil tersebut. Cahaya lampu tak mampu menyorot wajah keduanya
yang kini datang mengarah ke rumah Pak Asep. Begitu mendekat, tahulah
Pak Asep bahwa pria yang datang adalah pak dokter yang pernah merawat
sahabatnya kemarin.
Gemuruh suasana hati Asep. Ia terlihat
kikuk saat menerima kehadiran pak dokter bersama istrinya. Terus terang,
seumur hidup, Pak Asep belum pernah menerima tamu agung seperti malam
ini.
Dokter dan istrinya dipersilakan masuk. Setelah disuguhi
sajian ala kadarnya, maka mereka berempat terlibat dalam pembicaraan
hangat. Tidak lama pembicaraan kedua keluarga itu berlangsung, hingga
saat pak Asep menanyakan maksud kedatangan pak dokter dan istri. Pak
dokter menjawab bahwa ia datang hanya untuk bersilaturahmi kepada Pak
Asep dan istri.
Pak dokter menyatakan bahwa ia terharu dengan
pengorbanan Pak Asep dan istri yang telah rela membantu tetangganya yang
sakit dan memerlukan dana cukup besar. Ia datang bersilaturahmi ke
rumah Pak Asep hanya untuk mengetahui kondisi Pak Asep dan belajar cara
ikhlas membantu orang lain yang sulit ditemukan di bangku kuliah. Semua
kalimat yang diucapkan oleh pak dokter dielak oleh pak Asep dengan
bahasa yang selalu merendah.
Tiba saat pak dokter berujar,
“Pak Asep dan ibu, saya dan istri berniat untuk melakukan haji tahun
depan. Saya mohon doa bapak dan ibu agar perjalanan kami dimudahkan
Allah Swt. Saya yakin, doa orang-orang shaleh seperti bapak dan ibu akan
dikabul oleh Allah.”
Baik Asep dan Asih menjawab serentak dengan kalimat, “Amin!”
Pak dokter menambahkan, “Selain itu, biar doa bapak dan ibu semakin
dikabul oleh Allah untuk saya dan istri, ada baiknya bila bapak dan ibu
berdoanya di tempat-tempat mustajab di kota suci Mekah dan Madinah.”
Kalimat yang diucapkan pak dokter kali ini sama-sama membuat bingung
Asep dan Asih, sehingga membuat mereka berani menanyakan, “Maksud Pak
Dokter?”
“Ehm, maksud saya, izinkan saya dan istri mengajak
Bapak dan Ibu Asep untuk berhaji bersama kami, dan berdoa di sana
sehingga Allah akan mengabulkan doa kita semua!”
Kalimat itu
berakhir menunggu jawaban. Sementara jawaban yang ditunggu tidak kunjung
datang hingga air mata keharuan menetes di pipi Asep dan Asih secara
bersamaan. Beberapa menit keharuan meliputi atmosfir ruang tamu
sederhana milik Asep dan Asih. Seolah bagai rahmat Tuhan yang turun
menyirami ruh para hamba-Nya yang senantiasa mencari keridhaan Tuhan.
Asep dan Asih hanya mampu mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Usai
pak dokter pulang, keduanya tersungkur sujud mencium tanah tanda rasa
syukur yang mendalam mereka sampaikan kepada Allah Yang Maha Pemurah.
Akhirnya, mereka berempat pun menjalankan haji di Baitullah demi mencari
keridhaan Allah Azza wa Jalla.
Sungguh, kesabaran panjang yang
diakhiri dengan pengorbanan kebaikan, hingga Allah Swt pun ' iba' ,
dengan memberi balasan yang besar dan anugerah yang tiada terkira.
Allahu Akbar......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar